10 Easy Free Toddler Montessori Home Play Ideas

Toddler Montessori play at home DIY home play free toddler ideas open closed play how to play with your toddler activities for 2 year olds cheap activities at home

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Pertanyaan untuk Si Ibu

*tulisan ini kubuat dalam another episode of talking to myself publicly*

Sekarang jam menunjukkan pukul 12.55 siang. Seperti biasa, siang ini aku duduk laptopan di kamarku. Aku ngedit video sejak bangun tidur dan sekarang udah beres editannya, tinggal upload semuanya. Aku seneng kerjaanku hari ini bakal beres sebelum sore.

“Mbaaak, sayuuuuur, pepes tongkol, sate usus, urap-urap…” suara medhok yang kukenali melintas di telingaku. Biasalah, suara ibu-ibu yang jualan lauk keliling. Jualan dengan the power of suara sendiri, tidak mengandalkan toa atau audio digital apa pun. Tapi suara seorang ibu-ibu tuh kan powerful banget ya. U know lah emak-emak kalo udah teriak ngomelin anaknya kayak gimana.

Si ibu berhenti di depan rumah tetanggaku. “Buk Jiiiiik, sayuuuur?” ia menawarkan dagangan ke salah satu tetangga terdekatku.

Biasanya ibu penjual itu jualan keliling perumahan di pagi hari, tapi akhir-akhir ini jualan di siang hari. Mungkin karena bulan puasa, pikirku. Pertanyaanku adalah, “Kenapa masih jualan?” Apakah jam segini ada yang beli? Mayoritas orang berpuasa.

Mungkin jawabannya sederhana: ia tetap jualan karena butuh pemasukan. Tentu saja. Kalo nggak butuh pemasukan, ngapain berpanas-panas keliling tanpa helm dan topi di cuaca sepanas ini setiap hari? Apakah ada yang beli? Mungkin ada, tapi entahlah apakah yang beli banyak atau tidak. Dan… berapa sih untungnya jualan di siang bolong di bulan puasa begini? Masa iya sih banyak? Setahuku, orang yang berjualan di kampungku ini pasti jualnya murah banget, sebab kalo ga gitu y aga bakal laku. Contohnya, pepes tongkol sebungkus biasa dijual Rp 2000 dan itu udah bisa dijadiin lauk sekali makan. Mana pepesnya enak, lagi. Contoh lain, sayur lodeh seporsi Rp 3000. Gila nggak tuh. Mie ayam/pangsit dijual Rp 6000 per porsi dan itu udah enak, kuahnya pun bukan kuah lemak murahan gitu. Kuah daging. Kebayang nggak mereka yang jual dapet untung berapa? Padahal kalo di kota, mie ayam gitu antara Rp 8000-Rp 10000 udah termasuk murah dan jarang ditemui. Kalopun ada, belum tentu enak. Jadi penjual-penjual di kampungku daebak banget, bukan? Aku overthinking mereka dapet berapa sehari, dan apakah cukup buat menuhin kebutuhan keluarganya.

Belum lagi yang jualan krupuk, ember, atau mainan anak sambil jalan kaki. Ga kebayang juga penjual eskrim keliling di bulan puasa seperti ini. Aku bayanginnya jadi sedih ☹ orang-orang seperti itu masih ada di sekitar kita… atau kalo ga ada ya berarti lingkunganmu udah “mahal” gitu.

Aku mikir apakah mereka lanjut jualan gitu dengan semangat? Ah masa iya ga semangat. Semangat adalah bahan bakar kita untuk bergerak dan melakukan sesuatu, bukan? Aku kagum aja mereka tetap semangat bergerak seperti itu. Apakah mereka beneran bersemangat agar dirinya tetap hidup? Apakah menghidupi anak yang jadi motivasi? Apakah keluarga? Kalau benar iya, kenapa harus orang lain yang bisa jadi sumber motivasi? Kenapa tidak murni seutuhnya untuk diri sendiri?

Menjadikan orang lain sebagai motivasiku untuk mencari uang — nampaknya tak mempan, atau belum mempan buatku. Sebagai contoh, “aku harus mendapat banyak uang agar tetap bisa menghidupi anak dan kucingku”. Apa cuma aku saja yang merasa motivasi macam gitu melelahkan? Menjadikan orang/objek lain sebagai sumber motivasi membuatku terbeban dan makin nggak menikmati apa yang kukerjakan. Yang mempan adalah menjadikan diriku sendiri jadi motivasi. Sayangnya, motivasi seperti itu nggak selalu konstan ada di hidupku.

Entahlah, bagaimana denganmu?

Memang sih, di hidup ini nggak ada yang konstan. Mau itu kondisi keuangan, finansial, mental dsb dsb pasti ada fase naik turunnya. Tapi kalau semangat turun terus apalagi di area motivasi bertahan hidup, apa yang salah ya? Kenapa bisa terjadi? Apakah karena ada sebagian dari motivasi yang memang harus berasal dari orang lain?

Aku kagum aja sih ngeliat orang-orang bisa tetap semangat bertahan hidup, apa pun motivasinya. Rasanya pengen gitu si ibu penjual lauk tadi kuajak ngobrol, penasaran motivasinya apa. Tapi masa iya ujug-ujug kuajak ngobrol tentang motivasi kehidupan gt wkwkwkwkwkwkw kan bakal random banget yha… Yang jelas, sepertinya si ibu tadi nggak se-overthink aku gini sih mikirin semua ini wkwkwkwkw *emot senyum with tears*

Buat kamu yang lagi baca ini, apakah kamu masih semangat buat beraktivitas dan mengejar semua goals dalam hidupmu? Kalau iya, mengagumkan. Mau berbagi kenapa kamu bisa tetap bersemangat seperti itu? Dari mana motivasimu berasal?

Akhirnya aku menemukan jawaban. Orang yang hidup bagi dirinya sendiri emang bakal mudah lelah, mudah menyerah, mudah hilang semangat hidup, mudah mempertanyakan ini itu, padahal we don’t have to know everything in this world; we don’t need every answer of every questions. Sedangkan orang yang memberi hidupnya bukan untuk dirinya sendiri (misal: hidup untuk Tuhan, hidup untuk keluarga, atau untuk orang tersayang) akan terus termotivasi dan punya semangat untuk bergerak, untuk melakukan apa pun, untuk bertahan hidup.

Add a comment

Related posts:

Launching the Livepeer Network

After 18 months of research, design, development, and testing, we’re excited that today is the launch of an alpha version of the Livepeer network on Ethereum’s Mainnet. Learn more and participate…

A Lamp Post

I did not like it at all. It was blinding the stars. The shimmering light from the rusty rotting pole. A lamppost standing tall. In the middle of an otherwise perfect, matt finish night. The light…